Sabtu, 10 Oktober 2009

Pendekatan Antropologi dan Eksistensi Manusia



Masyarakat desa hutan di Indonesia sebagian besar tinggal terpencar di pulau-pulau luar Jawa yang terletak di hulu-hulu sungai pedalaman dan di tengah rimba belantara . Masyarakat desa hutan memiliki beberapa ciri dengan spesfifikasi tingkat homogenitas yang tinggi . Beragam ciri spesifik masyarakat desa hutan diyakini mengandung nilai-nilai kearifan tradisional yang mampu menciptakan stabilitas kondisi sosial dan kehidupan harmonis. Nilai-nilai kearfian tradisional masyarakat desa hutan terbentuk dari interaksi antara sesama anggota masyarakat dengan lingkungannya yang terjadi secara berulang-ulang. Akibatnya, terbangunlah suatu sistem tatanan sosial budaya masyarakat desa hutan yang menyatu dengan ekosistem hutan. Hutan sebagai satu kesatuan lingkungan budaya menjadi tumpuan hidup (staff of life) masyarakat desa hutan untuk menopang sistem kehidupannya.

Keterkaitan hubungan yang erat antara masyarakat dengan lingkungan hutan dalam perkembangannya mengalami pergeseran. Dinamika budaya yang berjalan secara dinamis sebagai akibat masuknya roh modernisasi dan globalisasi telah merubah keeratan jalinan hubungan antara masyarakat dengan sumber daya hutan. Sumber daya hutan tidak semata-mata dipandang sebagai aspek keseimbangan kosmos, melainkan aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat yang sebagian besar dapat dipenuhi melalui mekanisme transaksi modern menggunakan media uang. Intensitas yang tinggi terhadap orang luar berdampak pula terhadap pola pemanfaatan hutan oleh masyarakat yang dipicu oleh budaya kapitalisasi pengusahaan hutan melalui sistem HPH/HTI. Akibatnya, sumber daya hutan mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya serta eksistensi masyarakat mengalami marginalisasi dengan output berupa kemiskinan masyarakat. Karenanya, perlu dilakukan sebuah antisipasi untuk tetap menjaga eksistensi masyarakat melalui mekanisme pemberdayaan yang berdasarkan pada sistem sosial budaya dan potensi alam masyarakat. Antropologi merupakan salah satu bidang ilmu sosial yang dapat menjawab persoalan tersebut.

Dinamika Budaya
Masyarakat desa hutan sebagai salah satu bagian integral dari masyarakat dunia tidak terlepas dari proses dinamika budaya. Bahkan proses perubahan ini terjadi sangat cepat terkait dengan masuknya para investor pengusahaan konsesi hutan yang membuka keterasingan masyarakat desa hutan dengan komunitas dunia luar. Masuknya investor pengusahaan hutan dipicu oleh terbitnya kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut menjadi titik tolak intrusi budaya luar ke masyarakat desa hutan. Kedua hal tersebut menjadi faktor pemicu bergulirnya dinamika budaya masyarakat.
Paradoks Kebijakan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berimplikasi pada perubahan sistem sosial budaya masyarakat desa hutan. Kebijakan tersebut adalah UU No 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan dan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Operasionalisasi UU No 5 Tahun 1967 di lapangan berdampak terjadinya perubahan sistem mata pencarian, kemudahan aksesibilitas, keterbukaan isolasi wilayah, peningkatan pendapatan, dan perubahan ekosistem lingkungan. Perubahan-perubahan tersebut terjadi di masyarakat desa hutan seiring masuknya perusahaan konsesi pengusahaan hutan yang merupakan implikasi dari penerapan peraturan perundang-undangan tentang Pokok-Pokok Kehutanan. Sementara untuk UU No. 5 tahun 1979 yang bertujuan menciptakan keseragaman (uniformitas) sistem pemerintahan yang ada di seluruh Indonesia berdampak terjadinya ketimpangan dan tumpang tindih struktur pemerintahan desa dan adat. Bahkan di beberapa wilayah terjadi kepunahan struktur pemerintahan adat (lokal) yang sebenarnya mempunyai hubungan historis yang kuat dengan warga masyarakatnya. Masyarakat tercerabut dari akar budayanya.

Intrusi Budaya, masuknya budaya luar dalam masyarakat desa hutan dibedakan dalam 2 kategori, yaitu intrusi budaya langsung dan tidak langsung. Intrusi budaya langsung adalah budaya luar bersentuhan langsung dengan budaya masyarakat (face to face), seperti masuknya kaum missionaris Roma, zending Belanda, pedagang Banjar, dan para karyawan perusahaan pemegang konsesi pengusahaan hutan. Sedangkan intrusi budaya yang tidak langsung ialah pengadopsian budaya yang diperoleh dari media informasi, seperti radio, televisi, dan surat kabar. Proses intrusi budaya hingga terjadi akulturasi haruslah melewati tiga tahapan, yaitu inovasi, sosialisasi, dan konsekuensi. Inovasi merupakan proses diketemukannya sebuah gagasan atau ide. Sedangkan sosialisasi adalah proses diperkenalkannya ide baru tersebut kepada orang lain. Tahap konsekuensi adalah proses diterima atau ditolaknya sebuah ide baru tersebut oleh orang lain.

Romantisme kehidupan masyarakat desa hutan yang menyiratkan kesan penuh homogenitas, kesederhanaan, keluguan, dan egaliter dalam perkembangannya mengalami perubahan seiring dengan masuknya modernisasi dan globalisasi . Tujuh unsur budaya masyarakat desa hutan yang berlaku secara universal dan merefleksikan identitas bersama sebuah masyarakat telah mengalami kedinamikaan . Budaya arif masyarakat lambat laun tergerus oleh intrusi budaya yang memamerkan prinsip rasionalitas dan efisiensi dengan memboyong mitos budaya komunitas luar sebagai “simbol kemajuan” sekaligus salah satu upaya mencapai peradaban yang tertinggi. Prinsip rasionalitas dan efisiensi telah merambah ke relung budaya masyarakat desa hutan dengan bukti makin lunturnya budaya barter, kesakralan ritual upacara adat, dan ketegasan hukum adat demi menegakkan aturan sesuai keselarasan ekosistem dan harmoni masyarakat. Budaya masyarakat mengarah ke tipe budaya tinggi atau high culture dengan mengadopsi pola budaya masyarakat perkotaan. Eksistensi masyarakat desa hutan berada dalam ambang batas liminal di pusara “paradoks” kebudayaan antara ada dan tiada. Puncak dari runtuhnya eksistensi masyarakat desa hutan adalah ancaman ketahanan pangan, kemiskinan, pengangguran, dan kriminalitas.

Antropologi dan Eksistensi Masyarakat Desa Hutan
Antropologi dalam perkembangan tahap akhir keilmuan mempunyai dua tujuan utama, yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis . Antropologi kehutanan lahir dari perkembangan ilmu yang bersifat praktik atau terapan dengan tujuan memberikan sumbang sih pemikiran guna mewujudkan sistem pengelolaan hutan yang adil, lestari dan berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.

Sejarah pengelolaan hutan yang ada di Indonesia selama estafet rezim pemerintahan menghasilkan sistem kelola eksploitatif yang tidak ramah lingkungan dan mengabaikan prinsip keadilan. Akibatnya, terjadilah konflik yang melibatkan masyarakat, pemerintah, maupun pengusaha hutan yang memiliki wilayah konsesi berdampingan dengan wilayah masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Secara garis besar konflik kehutanan disebabkan oleh 4 persoalan pokok, yaitu (1) ketidakjelasan tata batas tenurial, (2) tumpang tindih kebijakan pemerintah tentang kewenangan pengelolaan sumber daya hutan, (3) kerusakan ekologi sumber daya hutan, dan (4) marginalisasi masyarakat desa hutan. Memahami persoalan sektor kehutanan, maka dalam perspektif antropologi terapan dapat dimaknai bahwa persoalan kehutanan telah merambah ke dalam 4 aspek sosial, yaitu aspek hukum, politik, ekologi budaya, dan ekonomi pembangunan . Marginalisasi masyarakat desa hutan dalam spesialisasi antropologi terapan dapat dikaji menggunakan antropologi pembangunan dan antropologi ekonomi melalui pendekatan pemberdayaan.
Kemiskinan masyarakat desa hutan saat ini mencapai 10,2 juta jiwa sebagai imbas pembangunan sektor kehutanan yang bersifat sentralistik yang manfaatnya hanya dinikmati oleh segelintir orang di elit birokrat dan pemilik modal. Konsep pemerataan buih pembangunan melalui trickle down effect tidak berjalan sempurna, justru masyarakat desa dari hari ke hari semakin mengalami marginalisasi. Masyarakat desa hutan mengalami ketertinggalan, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, permukiman, dan ketersediaan fasilitas umum lainnya. Intinya, masyarakat justru terus terpinggirkan dengan atribut kemakmuran semu. Melalui pendekatan ilmu antropologi terdapat dua skenario yang dapat dilakukan dalam rangka eksistensi dan pemberdayaan masyarakat desa hutan, yakni penguatan identitas, dan sikap tanggap budaya.

Penguatan identitas. Masyarakat desa hutan secara historis kultural memiliki karakteristik khas yang dianggap sebagai identitas bersama, yaitu sistem tata nilai budaya yang arif, kelembagaan lokal yang mengakar, dan terikat oleh lingkungan sumber daya hutan. Identitas bersama dari masyarakat desa hutan yang dibangun sejak ribuan tahun yang lalu dalam perkembangannya mengalami berbagai perubahan, seiring terjadinya difusi budaya . Realita ini memberi perhatian (warning) ancaman akan bahaya kepunahan masyarakat desa hutan. Atas dasar itu perlu dilakukan suatu upaya penguatan (revitalitation) dari identitas bersama masyarakat sebagai upaya mengeksistensikan kembali masayarakat desa hutan. Ada 3 upaya yang dapat segera dilakukan guna mengeksistensikan kembali identitas bersama masyarakat desa hutan, yaitu (1) penguatan sistem tata nilai budaya, (2) penghidupan kembali sistem kelembagaan lokal, dan (3) optimalisasi potensi sumber daya hutan.

Sikap tanggap budaya. Masyarakat desa yang tinggal di dalam dan sekitar hutan tidak ada alasan untuk menutup diri dari pengaruh budaya luar. Konsep-konsep positip modernisasi dan globalisasi harus segera disosialisasikan dan diaplikasikan dalam program pembangunan di masyarakat desa hutan. Akulturasi konsep-konsep positip modernisasi dengan sistem budaya arif masyarakat akan mampu mewujudkan eksistensi masyarakat desa hutan . Akulturasi budaya arif masyarakat desa hutan dengan sistem tata nilai arif budaya modernisasi dan globalisasi diharapkan akan menciptakan suatu eksistensi masyarakat desa hutan yang tahan goncangan perubahan. Kuncinya terletak pada kesiapan peningkatan kualitas sumber daya manusia masyarakat desa hutan dan optimalisasi potensi sumber daya hutan yang ada di sekitar masyarakat.

Penutup
Pemberdayaan masyarakat desa dan di sekitar dan dalam hutan harus menjadi sebuah program komprehensif, holistik, koordinatif dengan melibatkan multi stakeholder. Pemberdayaan masyarakat desa hutan diarahkan pada program pemberdayaan yang adaptif terhadap sistem ekologi hutan, berbasis sistem sosial budaya setempat, produktif dan berorientasi pasar, membangun enterpreunership, dan mewujudkan kelembagaan partisipatif. Diharapkan melalui program tersebut akan terwujud sebuah program pemberdayaan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, sesuai potensi bio fisik setempat, serta aplikatif di lapangan. Antropologi mempunyai tugas sejarah untuk mewujudkan masyarakat desa hutan yang sejahtera dan mandiri dengan memanfaatkan sumberdaya alam secara adil, lestari dan berkelanjutan.

Daftar Pustaka
Anonimus, 1967. “UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan”. Jakarta.
—————, 1979. “UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa”. Jakarta.
Djuweng, Stepanus, 1996, “Dampak Sosial Budaya HPH: Kasus Semandang Kanan”, IDRD: Pontianak.
Kartodiharjo, Hariadi. 1999. “Masalah Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam Produksi”, Pustaka Latin : Bogor.
Koentjaraningrat,. 1982, “Masyarakat Pedesaan di Indonesia”, dalam Masalah-Masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi Terapan, LP3ES: Jakarta
Nugaha, A & Murtijo, 2005, “Antropologi Kehutanan”, Wana Aksara, Banten
Peluco, Nancy L,. 1994, “Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java”, London: University of California Press
Scoot, James C, 1992, “Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara”, LP3ES, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tolong comment yang sesuai dengan kata hati mu cess...