Sabtu, 10 Oktober 2009

Metode dalam Teori Budaya

Pengantar
Kini pengertian budaya yang dikaji lebih dalam oleh para antropolog di berbagai belahan dunia telah mencakup seluruh aspek sosio-kultur, ekonomi, politik, teknologi, alam dan ilmu. Dalam konteks Indonesia, budaya dan juga teori budaya, beserta munculnya kajian budaya (cultural studies) akan selalu mempunyai arti penting dalam perkembangan sosial masyarakatnya.
Lebih jauh untuk mengkaji budaya (culture) yang dimasukkan dalam disiplin ilmu antropologi (ilmu sosial), Kaplan dan Manner mengungkapkan berbagai penjelasan dari segi epistemologis maupun metodologis. Pengulasan fenomena budaya yang dibeberkan secara teoritik berdasar ikatan metode dan berbagai pendekatan mengupayakan penjabaran epistemologi disiplin ilmu antropologi.
Buku Teori Budaya karya David Kaplan dan Manners ini diramu secara sistematis hubungan-hubungan (ilmu alam dengan sosial) dan berbagai persoalannya. Perdebatan mengenai antropologi sebagai lmu humaniora dan sosial berdasarkan wacana teoritik dan metodologi menjadi inti bahasan dalam buku tersebut.
Antropologi : sebuah pengetahuan menuju ilmu (kajian)
Telaah antropologi memerlukan rangkuman yang sistematis (ilmiah). Perhatian yang lebih terhadap alur epistemologi dalam menganalisis (pengetahuan) antropologi setidaknya menggaris bawahi tujuan betapa pentingnya mengetahui dasar antropologi. Demikian Kaplan dan Manner merumuskannya.
Dasar antropologi digugah mulai dari konsep manusia, homo sapiens dengan ‘kesatuan’ unsur psikobiologi. Konsep manusia yang memunculkan sebuah mekanisme perubahan atau mekanisme stabilitas (p.3). Pendefinisian culture (budaya) ternyata ditemukan banyak perdebatan dari para antropolog meskipun Kaplan dan Manner tidak secara penuh menjabarkannya dalam buku tersebut.
Dan di sinilah awal mula Kaplan dan Manner merumuskan berbagai pandangan (perspektif) keilmuwan terkait metode dan pokok soal penyusunan teori terhadap wacana teoritik (pengetahuan) antropologi dalam bab satu buku tersebut.
Menurut mereka, pertanyaan besar dalam antropologi sebagai sebuah bidang pengetahuan adalah mengenai bagaimana cara bekerjanya sistem budaya yang berbeda-beda, dan bagaimana sistem-sistem budaya itu menjadi seperti sekarang (p.2).
Sehingga pemikiran Kaplan dan Manner secara umum mencurahkan segala halnya untuk dapat menjawab pertanyaan itu. Antara lain dengan membagi pandangan atas sikap antropologi yang relativistik dan komparatif. Selanjutnya, mereka merefleksikan pandangan itu ke dalam sebuah perbandingan dan tipe struktural (p.11). Mereka mengilustrasikan antropolog seperti permainan sandiwara karya Moliere.
Bagi mereka, antropolog hendaknya mengakui berbagai realitas tanpa perlu menciptakan metafor baru terhadap sebuah konsep yang terlalu rumit untuk dimengerti (secara tersirat maupun tersurat). Bahwa terkadang antropolog kurang memahami atau menyadari hal itu sehingga antropolog mesti membongkar dan menggali kembali konstruk yang diciptakan, terutama mengenai konsep yang disusun demi keperluan ilmiah tersebut. Padahal ia justru telah mengacu pada tipe struktural.
Jenis pembandingan yang dibagi lagi menjadi dua yaitu skala kecil dan besar menyederhanakan dari segi metodologi dan pengetahuan (heuristik) (p.13).
Masalah pendefinisian teori mendapatkan perhatian yang cukup tajam. Bagi Kaplan dan Manner, sebuah ‘pengalaman yang tak terjelaskan’ yang dibahas dalam studi antropologi setidaknya akan dianggap berharga jika melaksanakan fungsi yaitu menjelaskan fakta dan membuka celah pandangan baru (p.15).
Sejauh ini pemikiran mereka dapat dibandingkan dengan argumen utama Wilhem Dilthey. Di dalam proses memahami realitas sosial, setiap bentuk tindakan dan ekspresi seseorang selalu mencerminkan apa yang dihayatinya di dalam kehidupan. Inilah yang disebut Dilthey sebagai pengalaman hidup (life experience). Pengalaman hidup tersebut dapat dipahami melalui proses rekonstruksi ulang yang dilakukan peneliti melalui penelitiannya.
Terlebih saat penyusunan sebuah teori menurut mereka lebih dulu untuk menyiapkan tafsir empirik agar mampu mengkontruksi (teori) sehingga menuju pada generalisasi empirik (atau hukum alam) dan untuk selanjutnya diverifikasi. Tafsir empirik ini mendasarkan diri pada fakta empirik.
Teori yang merupakan generalisasi dengan corak khusus diungkapkan melalui keterkaitan generalisasi empirik dengan generalisasi teoritik. Generalisasi empirik mendekatkan pada jalan observasi (pengamatan) sedangkan generalisasi teoritik melonggarkan jalan baru bagi penelitian sehingga akan menuntun sebuah fakta baru.
Kemudian mereka mengutip John Hospers yang menegaskan bahwa teori dan hukum itu berbeda. Perbedaan itu terletak pada proses dan cara kerjanya, yaitu teori dapat kita susun dan hukum (alam) bisa didapat (ditemukan) asal dengan menyingkapnya.
Kutipan tersebut telah melengkapi argumen mereka dan memecahkan rangkaian teoritik dalam metodologi keilmuwan antropologi, terutama dalam penyusunan teori baru yang dikupas lebih mendalam dalam buku karya mereka.
Penekanan pada sebuah teori yang dikonstruk oleh ilmuwan sosial telah memberikan implikasi berupa penjelasan abstrak yang tidak mudah sebab tidak ada yang memungkinkan pengamatan sederhana dan langsung. Maka, bagi mereka teori hanya dapat terkukuhkan (terkonfirmasi) (p.18).
Kaplan dan Manners telah membubuhkan kritik untuk ilmuwan sosial. Kritik ini menyangkut materi yang disebut ‘teori’. Alasan semantik pendefinisian sebuah istilah dalam pengetahuan antropologi menyiratkan kegelisahan bagi mereka. Pandangan ilmuwan fisika (ilmu pasti) terhadap ilmuwan sosial yang terus berkutat di perdebatan konsep atau definisi.
Pemikiran Malinowski yang mereka kutip (p.31) telah menguatkan pemahaman mereka tentang penelitian antropologi yang menitik beratkan pada upaya penyingkapan titik pandang suatu masyarakat (pribumi) serta relasi antar pemahaman, kontruks yang dibuat.
Obyektifitas seorang peneliti antropolog disinggung oleh Kaplan dan Manners pada sub bab “obyektifitas pelaporan antropologi”. Nilai-nilai, sudut pandang, bias, latar belakang historis yang mempengaruhinya akan membawa ruang diskursif menuju pembentukan teori oleh peneliti antropolog.
Kaplan dan Manners kemudian membuat semacam preskripsi bahwa tempat yang layak untuk mencari dan menemukan obyektifitas (pelaporan) adalah dalam tradisi kritik suatu disiplin (p.33).
Sedangkan pada pembentukan teori, mereka menganggap ilmu (sains) seperti yang diungkapkan Karl Popper; sains ialah suatu proses “menebak dan membuktikan kesalahan tebakan”. Klaim terhadap suatu ‘disiplin’ yang menjadikannya sebuah sains harus menghadapi pengujian yang bertubi-tubi dan siap akan rentetan pertanyaan.
Pertanyaan yang diajukan ketika antropologi masuk dalam humaniora, sains, atau bentuk lain diantara keduanya. Mereka mengistilahkannya dengan kultur ketiga. Upayanya dalam antropologi ialah pengetahuan publik (terbuka untuk umum) yang andal mengenai ihwal sosiolultural. Sifat teori yang relatif tidak pasti. Menyebabkan antropologi kurang memiliki sesuatu yang oleh ahli logika mungkin disebut ilmu ‘sejati’.
Ketidakpastian dan kekurangan itu dirangkai dalam empat point, pertama, kesejarahan/historitas yang memerlukan waktu panjang atas proses tersebut. Dalam membangun teori yang berhadapan dengan sistem-sistem yang bersifat reptitif saat menghadapi fenomen yang telah mengalami perubahan sistematik, demikian juga dengan ilmu alam (fisika).
Wilbert Moore mengemukakan pemikiran tentang teori statis dan teori dinamis. Ilmu hayat yang diasumsikan pada struktur, proses dan kejadian yang relatif sangat panjang (ribuan bahkan jutaan tahun) sedangkan ilmu sosial relatif sangat pendek, singkat.
Kedua, sistem terbuka memungkinkan adanya pertemuan teori-teori baru dengan teori yang ada sehingga keterhubungan antar variabel yang sangat banyak membuat antropolgi agak sulit mengontrolnya meski banyak yang relevan.
Ketiga, mengenai isu-isu sosial merujuk pada pengaruh masyarakat luas dalam penerapan disiplin mereka. Ilmuwan fisika cenderung seimbang dengan taraf kecanggihan ilmu pada saat tertentu.
Ilmuwan sosial (antropologi) malah lebih dihadapkan pada kepentingan dan keprihatinan masyarakat (p.40).
Keempat, disiplin ilmu sosial yang mempunyai konteks ganda yang didasarkan atas reaksi orang terhadap proposisi-proposisi sebagai teori dan ideologi. Sehingga seringkali dianggap mempersulit penyaringan teori. Bahkan anggapan sifatnya yang deterministik dan merendahkan martabat manusia menjadi semakin bias akan kemanfaatan disiplin ilmu sosial ini. Meski kadang-kadang penilaian yang didasarkan bukan pada alasan logis atau empiris.
Pada simpulannya, mereka menilai antropologi berupaya menghasilkan pengetahuan yang andal dan terbuka untuk umum mengenai bahan kajiannya. Pengetahuan teoritik diharapkan selain lebih mudah dipahami dan disampaikan namun juga mampu menjadi potensi pengembangan, bukan sekedar akumulasi fakta.

Wakatobi-Daerah Wisata Andalan Sulawesi Tenggara

Selamat Datang di Wakatobi

Tujuan wisata menyelam dengan salah satu terumbu karang terbaik di dunia di mana anda dapat melepaskan diri dari rutinitas sehari-hari dalam kenyamanan menyeluruh. Saat anda menikmati wisata menyelam terbaik anda membantu memastikan bahwa keajaiban bawah laut di daerah tersebut akan berada di sana hingga masa mendatang.

Terletak pada pulau tropis yang indah di kepulaun Wakatobi yang terletak di laut Banda, Wakatobi Dive Resort menawarkan apa yang oleh banyak orang dianggap sebagai lokasi menyelam terumbu karang terbaik di dunia. Staff kami yang memiliki pengetahuan disertai keramahan-tamahan akan melayani anda beserta rekan-rekan anda, juru masak kami menciptakan hidangan yang sangat enak dan bungalow kami memenuhi unsur estetika serta sangat nyaman. Tetapi masih ada lagi, yang membuat Wakatobi sangat unik adalah cakupan di mana daerah sekitarnya dilibatkan dalam upaya perlindungan sumber daya laut yang berkesinambungan.

Diberkati dengan rangkaian terumbu karang terbaik dan paling sehat saat ini, dimana anda dapat mulai menyelam hanya 20 meter dari dive center maka Wakatobi sering dianggap sebagai kapal dengan pantai terbangun di sampingnya. Sebagai tambahan dari rangkaian terumbu karang yang spektakuler, terdapat belasan lokasi menyelam yang dapat dijangkau dengan mudah yang memiliki kehidupan bawah laut yang sangat beragam, penuh warna dan megah. Tersedianya penyeleman menggunakan kapal dan penyelaman lepas pantai yang tak terbatas termasuk dalam paket resort yang lengkap, maka anda memilki jaminan kebebasan menyelam total !

Pesawat ke Wakatobi "Susi Air"


Perjalanan menuju Kepulauan Wakatobi tampaknya tidak akan menjadi keluhan lagi bagi sebagian kalangan masyarakat, terutama para wisatawan. SusiTuris yang ingin menikmati obyek wisata alam di kepulauan yang memiliki ekosistem terumbu karang indah di bawah laut, akan lebih mudah karena akses transportasi udara mulai terbuka.

Dengan adanya bandar udara (Bandara) Matahora di Kota Wangi-Wangi, yang telah diresmikan oleh Menteri Perhubungan, Jusman Safi’i Jamil (22/5) tampaknya telah menghilangkan animo bahwa transporatasi wilayah kepulauan hanya bisa dilayani dengan angkutan laut.

Gugusan kepulauan Wakatobi — akronim dari nama pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko — merupakan salah satu wilayah terisolasi di bagian timur Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) karena letak geografisnya berada di perairan Laut Banda.

Untuk menjangkau wilayah yang juga dikenal “Pulau Tukang Besi” (daerah penghasil kerajinan besi), cukup jauh dari Kota Kendari, ibukota Provinsi Sultra. Masyarakat yang akan ke kota dan dari Kota Kendari – Wakatobi menggunakan kapal pelayaran rakyat dengan waktu tempuh sekitar 10 jam (musim gelombang laut rendah) sampai 15 jam (musim gelombang laut tinggi).

Selain itu juga dapat melalui perjalanan laut dari Kota Kendari – Kota Bau-Bau dengan menggunakan kapal cepat, dan melanjutkan perjalanan darat menuju pelabuhan Lasalimu atau Pasar Wajo (Kabupaten Buton), kemudian menggunakan kapal pelayanan rakyat ke Wakatobi.

Bagi masyarakat kepulauan Wakatobi, perjalanan seperti itu merupakan hal biasa, tetapi bagi masyarakat luar Wakatobi, apalagi kalangan wisatawan, mungkin tidak terbiasa karena selain menyita waktu perjalanan yang panjang, juga bisa melelahkan.

Melihat kondisi geografis kepulauan Wakatobi yang sejak tahun 2003 menjadi daerah otonomi — pemekaran dari Kabupaten Buton–, akhirnya Bupati Wakatobi, Hugua dengan dukungan DPRD dan masyarakat setempat membangun Bandara Matahora menggunakan dana APBD Wakatobi tahun 2008.

Hugua mengatakan, pembangunan bandara tersebut dilakukan secara bertahap, mulai tahun 2008 landasan pacu sepanjang 1.400 meter, dan tahun 2009 diperpanjang menjadi 1.800 meter dan tahun 2010 akan diperpanjang menjadi 2.100 meter agar dapat melayani pesawat berbadan lebar.

Pengoperasian Bandara Matahora oleh Menteri Perhubungan yang lalu juga sekaligus diawali dengan penerbangan perdana pesawat “Susi Air” – pesawat berbadan kecil dengan kapasitas penumpang 12 orang– , dari Kota Kendari – Wakatobi yang membutuhkan waktu sekitar 45 menit.

Terobosan pembangunan Bandara ini, kata dia, sangat penting untuk mempermudah akses transportasi ke daerah ini, sebab kalau mengandalkan akses transportasi laut, maka wilayah tersebut sulit untuk maju sejajar dengan daerah lain.

“Pembangunan Bandara ini diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi daerah ini dan sekitarnya, karena akses transportasi semakin terbuka, berarti perputaran roda perekonomian rakyat bisa meningkat,” ujarnya dengan penuh harap di masa depan.

Menurut Hugua, dengan penggunaan transportasi udara tersebut, bagi wisatawan, baik dalam negeri maupun luar negeri yang melakukan perjalanan pulang pergi ke dan dari Wakatobi – daerah asal wisatawan itu, bisa terpangkas waktu minimal selama empat hari.

“Para wisatawan membutuhkan perjalanan yang cepat, rasa nyaman dan aman ke Wakatobi, oleh karena itu, salah satu solusinya dengan membangun Bandara tersebut,” ujarnya.

Hugua memprediksi bahwa jumlah wisatawan ke Wakatobi di mas mendatang bisa melonjak dari sebelumnya mencapai sekitar 3.000 sampai 4.000 orang, menjadi sekitar 200.000 orang per tahun.

“Saya optimistis dengan adanya bandara ini, jumlah wisatawan bisa meningkat. Sebelumnya banyak turis mengurungkan niatnya ke Wakatobi hanya karena masalah transportasi,” ujar Hugua yang selalu aktif ke luar negeri untuk mempromosikan potensi sumber daya alam daerahnya.

Ia mengatakan, wisatawan mancanegara yang ke Wakatobi datang secara terorganisir dengan menggunakan transportasi udara khusus dari Bandara Ngurah Rai Denpasar Bali melalui Bandara Maranggo di Pulau Tomia, yang dikelola investor PT. Wakatobi Divers Resort asal Jerman.

“Wisatawan yang menggunakan jasa PT. Wakatobi Divers Resort itu selalu antri setiap tahun untuk berkunjung ke Wakatobi, oleh karena itu, kami buka akses transportasi udara lain melalui Bandara Matahora, dengan harapan agar masyarakat, khususnya wisatawan yang mau ke sini tidak lagi kesulitan transportasi,” ujarnya.

Hugua yang juga dikenal sebagai pegiat lembaga swadaya masyarakat “Sintesa” ini mengatakan, Wakatobi dengan luas wilayah 65.705 kilometer persegi itu, memiliki potensi kekayaan sumber daya laut yang luar biasa karena letaknya berada di segi tiga karang dunia yang melinatasi di enam negara, yakni Malaysia, Philipina, Pulau Salomon, Papua Nugini dan Timor Laste.

Berdasarkan hasil penelitian dari lembaga studi internasional, kata Hugua, Wakatobi memiliki keanekaragam terumbu karang terbesar di dunia sekitar 750 jenis dibandingkan dengan terumbu karang di Laut Merah memiliki sekitar 450 jenis dan Laut Karibia sekitar 50 jenis.

Oleh karena itu, kata Hugua, Pemerintah Kabupaten Wakatobi memberikan julukan obyek wisata alam bahari itu dengan “Bumi Surga Bawah Laut”, yang diimplementasikan dalam konsep visi pemerintah daerah tersebut, yakni “Terwujudnya Surga Nyata Bawah Laut di Jantung Segitiga Karang Dunia”.

“Konsep visi dan misi Pemerintah Wakatobi seperti ini bisa dikatakan sesuatu yang ambisius dan mimpi, tapi inilah karakter wilayah ini karena berbeda dengan daerah lain di Indonesia karena potensi andalan adalah kekayaan sumber daya laut, baik hasil perikanan maupun pariwisata, khususnya obyek wisata terumbu karang,” ujarnya.

Selain pariwisata, potensi sumber daya perikanan di Wakatobi, juga cukup kaya dengan ikan cakalang, tuna, kerapu, kakap, lobster, teripang, dan rumput laut, serta penangkaran satwa langka penyu.

Pemkab Wakatobi, kata Hugua, telah menfokuskan perhatian pada sektor pariwisata dan perikanan, meskipun dalam kerangka kebijakan pemerintah setempat bahwa prioritas utama pembangunan pada sektor pendidikan, kesehatan dan pembangunan sarana infrastruktur serta peningkatan pelayanan birokrasi pemerintah.

“Dengan bertumpu pada prioritas utama pembangunan tersebut, sehingga alokasi anggaran sektor pariwisata dan sumber daya perikanan cukup kecil karena fokus perhatian kedua sektor ini bukan pembangunan fisik, tetapi lebih bersifat promotif terhadap potensi sektor pariwisata dan hasil-hasil perikanan,” ujarnya.

Pada saat peresmian Bandara Matahora dan penerbangan perdana pesawat Susi Air (22/5), Menteri Perhubungan, Jusman Safi’i Jamal memuji inisiatif Pemerintah Kabupaten Wakatobi dan maskapai Susi Air yang telah melakukan terobosan membuka keterisolasian wilayah ini dengan membangun bandara dan pelayanan pesawat penerbangan.

“Kami sangat menghargai dan mendukung inisiatif Bupati Wakatobi membangun bandara ini dan pihak maskapai Susi Air yang melayani penerbangan di daerah ini. Mudah-mudahan manfaatnya bisa memacu pusat-pusat pertumbuhan daerah ini dan sekitar,” ujarnya.

Sebab, kata Menhub, pembangunan bandara tersebut sangat strategis untuk mendukung Kabupaten Wakatobi sebagai daerah wisata “surga di bawah laut” dan pemanfaatan potensi kekayaan sumber daya perikanan.

Hal senada dikatakan Gubernur Sultra Nur Alam, kehadiran Bandara Wakatobi sangat stretegis untuk mendukung pengelolaan potensi kekayaan alamnya terutama obyek wisata yang keindahan panorama bawah laut dan sumber daya perikanan.

“Wakatobi sudah terkenal di dunia dengan aneka ragam dan keindahan terumbu karangnya, oleh karena itu, kehadiran bandara akan membuka mata dunia untuk menarik banyak pengunjung untuk menyaksikan surga di bawah laut,” ujarnya.

Karena itu, kata Nur Alam, Pemerintah Provinsi Sultra akan mengoordinasikan dengan seluruh pemerintah kabupaten dan kota di Sultra agar membangun infrastruktur Bandara di daerahnya masing-masing agar bisa ’link’ dilayani oleh pesawat Susi Air.

“Kami akan menyusun ’master plan’ penerbangan yang dapat melayani seluruh wilayah di Sultra dan juga daerah sekitarnya seperti Kepulauan Flores (NTT) dan Buru (Maluku)” ujarnya.

Direktur Maskapai Susi Air, Susi Pujiastuti mengatakan, pihaknya menyediakan layanan transportasi udara tersebut pulang pergi dari dan ke Kendari – Wangi-Wangi sebanyak 10 kali dalam semiggu.

Susi menambahkan, pihaknya juga telah berkomitmen untuk melayani penerbangan di daerah pesisir yang memiliki visi penyelamatan lingkungan, oleh karena itu, selain penumpang, juga pesawat tersebut akan melayani kargo hasil perikanan yang ramah lingkungan.

“Saya sampaikan bahwa kami tidak akan melayani kargo hasil perikanan yang diperoleh dengan menangkap ikan dengan bom, potasium, dan merusak hutan bakau serta tidak melayani kargo ikan hias.

Sejarah Teluk Kendari

uda rusak.........
birunya langit di Kendari
Teluk kendari tempo dulu
wajah baru teluk kendari

Sebagaimana telah diceritakan saudara Babol, Teluk Kendari dulunya disebut Vosmaer Baai oleh pemerintah Hindia Belanda
Jauh ke masa si Vosmaer ini belum menemukan Teluk Kendari. Wilayah Kendari sebelumnya adalah bagian dari pemerintahan Kerajaan Konawe yang letaknya di pedalaman dengan ibukotanya Unaaha. Yang sekarang telah menjadi kabupaten otonom (Kabupaten Konawe) berkat pemekaran pada tahun 1995.

Kota Kendari, dulunya bernama Kandai. Diambil dari nama alat kayuh/penokong rakut atau perahu dari bambu (umumnya) sepanjang tiga depa. Ada juga sebagian penduduk yang menyebutnya Kantahi. Artinya kawasan pesisir pantai.

Entah bagaimana ceritanya sehingga orang-orang menyebutnya Kendari. Mungkin perbauran banyak bahasa Nama Kendari lah yang kemudian menjadi pilihan pemerintah Hindia Belanda untuk melazimkan penamaan daerah ini.

Struktur pemerintahan Kerajaan Konawe diatur menurut sistem “Siwole Mbatohu, O Pitudula Batu” maksudnya kira-kira pembagian empat wilayah penunjang pemerintah pusat. menjadi:

- Tambo I Lososano oleo. Gerbang Timur dikoordinasi Ranomeeto
- Tambo I Tepuliano oleo. Gerbang barat dikoordinasi Latoma
- Bharata I Hana (Bintara Kanan) dikoordinasi Tonga Una
- Bharata I Moeri (Bintara Kiri) dikoordinasi Asaki/Lambuya

Kota Kendari dibangun setelah pusat Kerajaan Konawe mengalami masa kemunduran di akhir abad ke-19 setelah kevakuman kekuasaan pasca meninggalnya raja Lakidende.

Dewan kerajaan tidak bertemu sepakat mengenai siapa pengganti Lakidende. Masing-masing kubu punya calon kuat dan enggan berkoalisi. Setelah sidang anggota dewan digelar, maka diputuskanlah bahwa Saranani sebagai pejabat Sulemandara akan naik menggantikan Lakidende menjadi Konawe 01.

Pemimpin Ranomeeto penguasa gerbang wilayah timur tidak menerima keputusan tersebut dan membangkang, melancarkan protes atas pengangkatan Sulemandara sebagai pengganti Raja Lakidende.

Perpecahan tersebut dimanfaatkan oleh kolonial Belanda untuk menggombal elite dan bangsawan Ranomeeto agar memisahkan diri dari kerajaan Konawe.

“Kowe orang poenja tangan koeat dan beroerat, poenja njali lebi gede, poenja penampilan lebi netjis dari Soelamandara. Heel goed …Ik poenja oesoel iang amet sanget bagoes.
Djikaloe itoe Soelamandara soeda dikasi tjaboet ianjah poenja boeleo ketek, mangka moesna soeda ianjah poenja kakoewatan poen. Verdomme Zig!”.

Begitu kira-kira bujuk Gubernur jenderal. Mungkin ditambah pula iming-iming pembangunan proyek airport di wilayah kekuasaannya. Lahirlah Kerajaan Laiwoi di bawah asuhan La Magu sebagai Raja Laiwoi lengkap dengan kabinet pemerintahannya. Batuangan dilantik sebagai Sapati, Malaka dilantik sebagai Kapita dan La Palewo sebagai Punggawa

Menimbang letak geografis Ranomeeto yang tidak strategis, maka Ibu kota kerajaan Laiwoi dipindahkan ke daerah pesisir teluk. Istana Raja Tebau dibangun di atas bukit Vosmaer pada tahun 1832.

Dengan berpindahnya ibu kota Kerajan ini, kawasan teluk Kendari menjadi pusat pemukiman yang ramai. Apalagi sebelumya pada tahun 1824 masyarakat Bajo teluk Bone telah bermigrasi besar-besaran ke teluk Kendari setelah diusir oleh kompeni. Ditambah lagi arus migrasi pada tahun 1861 oleh 300 orang pengikut La Ode Ngkada (Kapitalau Lohiya) yang ngambek pada Raja Muna, La Ode Bulai.

Pemerintah Hindia Belanda Menetapkan Jan Nicholas Vosmaer yang sebelumnya nyasar ke teluk ini sebagai Asisten resident dengan surat keputusan no. 16 tanggal 12 Januari 1835. Sebelumnya, pada tahun 1832, si Vosmaer telah mendapat ijin dari pemerintah Hindia Belanda dalam rangka mengawasi Teluk dari gangguan perompak (Tobelo).

Intermezo: Tobelo ini punya sejarah sendiri. Mereka adalah perompak yang berkeliaran di perairan Sulawaesi Tenggara. menangkap siapa saja yang mereka temui di laut, lalu membawanya ke Labuan Tobelo untuk di gorok (hobi yang mengerikan). Duluuu saya menghabiskan masa kecil di sebuah pulau yang sepuluh kali lebih indah dari Tropico Island. Biasanya, kalo lagi asik bermain di laut, meng-kilikitik salah satu tentakel Kraken. Atau main ciprat2an air sama putri duyung…..atau main enggo sembunyi, poseidon jadinya! ……Tiba-tiba ada perahu Lambo mendekat….kami langsung berhamburan….takut kalo-kalo itu para Tobelo.

Hubungan Kerajaan Laiwoi dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda semakin mesra dengan ditekennya Long Contract sebanyak 27 Pasal pada tanggal 13 April 1858.

Pada tahun yang sama (1858) La Magu meninggal dan digantikan Saosao. Namun berhubung usianya yang belum dewasa, Raja Saosao baru dilantik pada tahun 1880.

Pada tanggal 21 Desember 1885, di atas kapal Borneo yang sedang berlabuh di luar Teluk Kendari, Saosao mewakili Hadat Kerajaan Laiwoi dengan Resident Bensbach mewakili Pemerintah Hindia Belanda. Sepakat meneken perjanjian kedua yang berisi 18 pasal. Salah satunya adalah, Kerajaan Laiwoi mengakui secara sah dan masuk ke dalam pemerintahan Hindia Belanda.

Pada bulan November 1910 hingga Juli 1913 pemerintah Hindia Belanda menempatkan Letnan I.F. Trefers sebagai komandan pos militer untuk menjalankan pemerintahan sipil di Onderafdeeling Kendari.

Setelah kehilangan kedaulatan Laiwoi lewat Korte Verkaliring pada tanggal 30 Agustus 1917. Raja Saosao meninggal dan Tekaka dinobatkan sebagai penggantinya pada tanggal 9 November 1933 sekaligus mengatur hubungan Landschap Laiwoei dengan Gubernemen HB dengan menetapkan pembentukan Afdeeling Boeton en Laiwoei meliputi tiga wilayah onderafdeeling yaitu Buton, Muna dan Kendari.

Kawasan ini menjadi ramai setelah sebelummnya pada tahun 1920 orang Cina dan Arab membangun pertokoan. Teluk Kendari berkembang menjadi pusat kekuasaan kolonial. Dengan membangun loji, tangsi, istana raja, fasilitas pemerintahan, perkantoran, rumah jabatan dan gereja di atas bukit serta fasilitas pelabuhan alam di teluk kendari.

Infrastruktur kota seperti pasar mulai dibangun. Pantai-pantai dipesisir teluk di reklamasi, Tebing-tebing tanjung bagian timur ditimbun demi perluasan fisik kota. Masyarat Bajo yang mulai merasa tidak nyaman dan menyebar ke berbagai wilayah.

Ketika jalan yang menghubungkan Kendari dengan daerah pedalaman mulai dibuka (Kendari-Wawotobi) pada tahun 1912, Kampung-kampung disepanjang Teluk telah menjadi konsentrasi pemukiman penduduk. Perluasan kearah utara pesisir pantai seperti kampung Sadoho, Benu-Benua, Tipulu, Kapontori, dan Lahudape berkembang menjadi bagian dari perluasan kota. Jalur jalan yang dibuka menuju ke barat yang menyusur pinggir pantai Menambah padatnya kawasan teluk.

Diposting Oleh: Mokokoro

materi diambil secara membabibuta dari sumber: DARI KOTA KOLONIAL KE KOTA NIAGA: Sejarah Kota Kendari Abd XIX-XX, Muhammad Said D (Makalah yang disampaikan pada Konferensi Sejarah Nasional VIII diselenggarakan oleh Direktorat Nilai Sejarah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Depertemen Kebudayaan dan Pariwisata, tanggal 13-16 November 2006 di Hotel Milenium Jakarta.)

Letak Geografis kota Kendari-Sulawesi Tenggara

KOTA KENDARI DI LIHAT DARI UDARA


01. Letak Geografi
Wilayah Kota Kendari dengan Ibukotanya Kendari dan sekaligus juga sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara secara geografis terletak di bagian Selatan Garis Khatulistiwa berada di antara 3° 54’ 30” – 4° 3’ 11” Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur diantara 122° 23’ – 122 39 Bujur Timur.


Peta Kendari

Sepintas tentang letak wilayah Kota Kendari sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Soropia, sebelah Timur berbatasan dengan Laut Kendari, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Moramo dan Kecamatan Konda, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ranomeeto dan Kecamatan Sampara.

02. Luas Wilayah
Wilayah Kota Kendari terletak di jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Wilayah daratannya sebagian besar terdapat di daratan Pulau Sulawesi mengelilingi Teluk Kendari dan terdapat satu pulau yaitu Pulau Bungkutoko. Luas wilayah daratan Kota Kendari 295,89 km2 atau 0,70 persen dari luas daratan Provinsi Sulawesi Tenggara.

03. Keadaan Iklim

Musim
Sekitar bulan April, arus angin selalu tidak menentu dengan curah hujan yang tidak merata. Musim ini dikenal sebagai musim pancaroba atau Peralihan antara musim Hujan dan musim Kemarau. Pada bulan Mei sampai dengan bulan Agustus, angin bertiup dari arah timur berasal dari benua Australia yang kurang mengandung uap air. Hal ini mengakibatkan kurangnya curah hujan di daerah ini. Pada bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober terjadi Musim Kemarau.

Kemudian pada bulan November sampai dengan bulan Maret, angin bertiup banyak mengandung uap air yang berasal dari benua Asia dan Samudera Pasifik, setelah melewati beberapa lautan. Pada bulan-bulan tersebut di wilayah Kota Kendari dan sekitarnya biasanya terjadi musim Hujan. Menurut data yang ada memberikan indikasi bahwa di Kota Kendari tahun 2005 terjadi 205 hh dengan curah hujan 2.850 mm.

Suhu Udara
Suhu udara dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Perbedaan ketinggian dari permukaan laut, daerah pegunungan dan daerah pesisir mengakibatkan keadaan suhu yang sedikit beda untuk masing-masing tempat dalam suatu wilayah. Secara keseluruhan, wilayah Kota Kendari merupakan daerah bersuhu tropis.

Menurut data yang diperoleh dari Pangkalan Udara Wolter Monginsidi Kendari, selama tahun 2005 suhu udara maksimum 32,83°C dan minimum 19,58°C atau dengan rata-rata 26,20°C. Tekanan Udara rata-rata 1.010,5 millibar dengan kelembaban udara rata-rata 87,67 persen. Kecepatan angin di Kota Kendari selama tahun 2005 pada umumnya berjalan normal, mencapai 12,75 m/detik.

Pendekatan Antropologi dan Eksistensi Manusia



Masyarakat desa hutan di Indonesia sebagian besar tinggal terpencar di pulau-pulau luar Jawa yang terletak di hulu-hulu sungai pedalaman dan di tengah rimba belantara . Masyarakat desa hutan memiliki beberapa ciri dengan spesfifikasi tingkat homogenitas yang tinggi . Beragam ciri spesifik masyarakat desa hutan diyakini mengandung nilai-nilai kearifan tradisional yang mampu menciptakan stabilitas kondisi sosial dan kehidupan harmonis. Nilai-nilai kearfian tradisional masyarakat desa hutan terbentuk dari interaksi antara sesama anggota masyarakat dengan lingkungannya yang terjadi secara berulang-ulang. Akibatnya, terbangunlah suatu sistem tatanan sosial budaya masyarakat desa hutan yang menyatu dengan ekosistem hutan. Hutan sebagai satu kesatuan lingkungan budaya menjadi tumpuan hidup (staff of life) masyarakat desa hutan untuk menopang sistem kehidupannya.

Keterkaitan hubungan yang erat antara masyarakat dengan lingkungan hutan dalam perkembangannya mengalami pergeseran. Dinamika budaya yang berjalan secara dinamis sebagai akibat masuknya roh modernisasi dan globalisasi telah merubah keeratan jalinan hubungan antara masyarakat dengan sumber daya hutan. Sumber daya hutan tidak semata-mata dipandang sebagai aspek keseimbangan kosmos, melainkan aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat yang sebagian besar dapat dipenuhi melalui mekanisme transaksi modern menggunakan media uang. Intensitas yang tinggi terhadap orang luar berdampak pula terhadap pola pemanfaatan hutan oleh masyarakat yang dipicu oleh budaya kapitalisasi pengusahaan hutan melalui sistem HPH/HTI. Akibatnya, sumber daya hutan mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya serta eksistensi masyarakat mengalami marginalisasi dengan output berupa kemiskinan masyarakat. Karenanya, perlu dilakukan sebuah antisipasi untuk tetap menjaga eksistensi masyarakat melalui mekanisme pemberdayaan yang berdasarkan pada sistem sosial budaya dan potensi alam masyarakat. Antropologi merupakan salah satu bidang ilmu sosial yang dapat menjawab persoalan tersebut.

Dinamika Budaya
Masyarakat desa hutan sebagai salah satu bagian integral dari masyarakat dunia tidak terlepas dari proses dinamika budaya. Bahkan proses perubahan ini terjadi sangat cepat terkait dengan masuknya para investor pengusahaan konsesi hutan yang membuka keterasingan masyarakat desa hutan dengan komunitas dunia luar. Masuknya investor pengusahaan hutan dipicu oleh terbitnya kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut menjadi titik tolak intrusi budaya luar ke masyarakat desa hutan. Kedua hal tersebut menjadi faktor pemicu bergulirnya dinamika budaya masyarakat.
Paradoks Kebijakan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berimplikasi pada perubahan sistem sosial budaya masyarakat desa hutan. Kebijakan tersebut adalah UU No 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan dan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Operasionalisasi UU No 5 Tahun 1967 di lapangan berdampak terjadinya perubahan sistem mata pencarian, kemudahan aksesibilitas, keterbukaan isolasi wilayah, peningkatan pendapatan, dan perubahan ekosistem lingkungan. Perubahan-perubahan tersebut terjadi di masyarakat desa hutan seiring masuknya perusahaan konsesi pengusahaan hutan yang merupakan implikasi dari penerapan peraturan perundang-undangan tentang Pokok-Pokok Kehutanan. Sementara untuk UU No. 5 tahun 1979 yang bertujuan menciptakan keseragaman (uniformitas) sistem pemerintahan yang ada di seluruh Indonesia berdampak terjadinya ketimpangan dan tumpang tindih struktur pemerintahan desa dan adat. Bahkan di beberapa wilayah terjadi kepunahan struktur pemerintahan adat (lokal) yang sebenarnya mempunyai hubungan historis yang kuat dengan warga masyarakatnya. Masyarakat tercerabut dari akar budayanya.

Intrusi Budaya, masuknya budaya luar dalam masyarakat desa hutan dibedakan dalam 2 kategori, yaitu intrusi budaya langsung dan tidak langsung. Intrusi budaya langsung adalah budaya luar bersentuhan langsung dengan budaya masyarakat (face to face), seperti masuknya kaum missionaris Roma, zending Belanda, pedagang Banjar, dan para karyawan perusahaan pemegang konsesi pengusahaan hutan. Sedangkan intrusi budaya yang tidak langsung ialah pengadopsian budaya yang diperoleh dari media informasi, seperti radio, televisi, dan surat kabar. Proses intrusi budaya hingga terjadi akulturasi haruslah melewati tiga tahapan, yaitu inovasi, sosialisasi, dan konsekuensi. Inovasi merupakan proses diketemukannya sebuah gagasan atau ide. Sedangkan sosialisasi adalah proses diperkenalkannya ide baru tersebut kepada orang lain. Tahap konsekuensi adalah proses diterima atau ditolaknya sebuah ide baru tersebut oleh orang lain.

Romantisme kehidupan masyarakat desa hutan yang menyiratkan kesan penuh homogenitas, kesederhanaan, keluguan, dan egaliter dalam perkembangannya mengalami perubahan seiring dengan masuknya modernisasi dan globalisasi . Tujuh unsur budaya masyarakat desa hutan yang berlaku secara universal dan merefleksikan identitas bersama sebuah masyarakat telah mengalami kedinamikaan . Budaya arif masyarakat lambat laun tergerus oleh intrusi budaya yang memamerkan prinsip rasionalitas dan efisiensi dengan memboyong mitos budaya komunitas luar sebagai “simbol kemajuan” sekaligus salah satu upaya mencapai peradaban yang tertinggi. Prinsip rasionalitas dan efisiensi telah merambah ke relung budaya masyarakat desa hutan dengan bukti makin lunturnya budaya barter, kesakralan ritual upacara adat, dan ketegasan hukum adat demi menegakkan aturan sesuai keselarasan ekosistem dan harmoni masyarakat. Budaya masyarakat mengarah ke tipe budaya tinggi atau high culture dengan mengadopsi pola budaya masyarakat perkotaan. Eksistensi masyarakat desa hutan berada dalam ambang batas liminal di pusara “paradoks” kebudayaan antara ada dan tiada. Puncak dari runtuhnya eksistensi masyarakat desa hutan adalah ancaman ketahanan pangan, kemiskinan, pengangguran, dan kriminalitas.

Antropologi dan Eksistensi Masyarakat Desa Hutan
Antropologi dalam perkembangan tahap akhir keilmuan mempunyai dua tujuan utama, yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis . Antropologi kehutanan lahir dari perkembangan ilmu yang bersifat praktik atau terapan dengan tujuan memberikan sumbang sih pemikiran guna mewujudkan sistem pengelolaan hutan yang adil, lestari dan berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.

Sejarah pengelolaan hutan yang ada di Indonesia selama estafet rezim pemerintahan menghasilkan sistem kelola eksploitatif yang tidak ramah lingkungan dan mengabaikan prinsip keadilan. Akibatnya, terjadilah konflik yang melibatkan masyarakat, pemerintah, maupun pengusaha hutan yang memiliki wilayah konsesi berdampingan dengan wilayah masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Secara garis besar konflik kehutanan disebabkan oleh 4 persoalan pokok, yaitu (1) ketidakjelasan tata batas tenurial, (2) tumpang tindih kebijakan pemerintah tentang kewenangan pengelolaan sumber daya hutan, (3) kerusakan ekologi sumber daya hutan, dan (4) marginalisasi masyarakat desa hutan. Memahami persoalan sektor kehutanan, maka dalam perspektif antropologi terapan dapat dimaknai bahwa persoalan kehutanan telah merambah ke dalam 4 aspek sosial, yaitu aspek hukum, politik, ekologi budaya, dan ekonomi pembangunan . Marginalisasi masyarakat desa hutan dalam spesialisasi antropologi terapan dapat dikaji menggunakan antropologi pembangunan dan antropologi ekonomi melalui pendekatan pemberdayaan.
Kemiskinan masyarakat desa hutan saat ini mencapai 10,2 juta jiwa sebagai imbas pembangunan sektor kehutanan yang bersifat sentralistik yang manfaatnya hanya dinikmati oleh segelintir orang di elit birokrat dan pemilik modal. Konsep pemerataan buih pembangunan melalui trickle down effect tidak berjalan sempurna, justru masyarakat desa dari hari ke hari semakin mengalami marginalisasi. Masyarakat desa hutan mengalami ketertinggalan, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, permukiman, dan ketersediaan fasilitas umum lainnya. Intinya, masyarakat justru terus terpinggirkan dengan atribut kemakmuran semu. Melalui pendekatan ilmu antropologi terdapat dua skenario yang dapat dilakukan dalam rangka eksistensi dan pemberdayaan masyarakat desa hutan, yakni penguatan identitas, dan sikap tanggap budaya.

Penguatan identitas. Masyarakat desa hutan secara historis kultural memiliki karakteristik khas yang dianggap sebagai identitas bersama, yaitu sistem tata nilai budaya yang arif, kelembagaan lokal yang mengakar, dan terikat oleh lingkungan sumber daya hutan. Identitas bersama dari masyarakat desa hutan yang dibangun sejak ribuan tahun yang lalu dalam perkembangannya mengalami berbagai perubahan, seiring terjadinya difusi budaya . Realita ini memberi perhatian (warning) ancaman akan bahaya kepunahan masyarakat desa hutan. Atas dasar itu perlu dilakukan suatu upaya penguatan (revitalitation) dari identitas bersama masyarakat sebagai upaya mengeksistensikan kembali masayarakat desa hutan. Ada 3 upaya yang dapat segera dilakukan guna mengeksistensikan kembali identitas bersama masyarakat desa hutan, yaitu (1) penguatan sistem tata nilai budaya, (2) penghidupan kembali sistem kelembagaan lokal, dan (3) optimalisasi potensi sumber daya hutan.

Sikap tanggap budaya. Masyarakat desa yang tinggal di dalam dan sekitar hutan tidak ada alasan untuk menutup diri dari pengaruh budaya luar. Konsep-konsep positip modernisasi dan globalisasi harus segera disosialisasikan dan diaplikasikan dalam program pembangunan di masyarakat desa hutan. Akulturasi konsep-konsep positip modernisasi dengan sistem budaya arif masyarakat akan mampu mewujudkan eksistensi masyarakat desa hutan . Akulturasi budaya arif masyarakat desa hutan dengan sistem tata nilai arif budaya modernisasi dan globalisasi diharapkan akan menciptakan suatu eksistensi masyarakat desa hutan yang tahan goncangan perubahan. Kuncinya terletak pada kesiapan peningkatan kualitas sumber daya manusia masyarakat desa hutan dan optimalisasi potensi sumber daya hutan yang ada di sekitar masyarakat.

Penutup
Pemberdayaan masyarakat desa dan di sekitar dan dalam hutan harus menjadi sebuah program komprehensif, holistik, koordinatif dengan melibatkan multi stakeholder. Pemberdayaan masyarakat desa hutan diarahkan pada program pemberdayaan yang adaptif terhadap sistem ekologi hutan, berbasis sistem sosial budaya setempat, produktif dan berorientasi pasar, membangun enterpreunership, dan mewujudkan kelembagaan partisipatif. Diharapkan melalui program tersebut akan terwujud sebuah program pemberdayaan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, sesuai potensi bio fisik setempat, serta aplikatif di lapangan. Antropologi mempunyai tugas sejarah untuk mewujudkan masyarakat desa hutan yang sejahtera dan mandiri dengan memanfaatkan sumberdaya alam secara adil, lestari dan berkelanjutan.

Daftar Pustaka
Anonimus, 1967. “UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan”. Jakarta.
—————, 1979. “UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa”. Jakarta.
Djuweng, Stepanus, 1996, “Dampak Sosial Budaya HPH: Kasus Semandang Kanan”, IDRD: Pontianak.
Kartodiharjo, Hariadi. 1999. “Masalah Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam Produksi”, Pustaka Latin : Bogor.
Koentjaraningrat,. 1982, “Masyarakat Pedesaan di Indonesia”, dalam Masalah-Masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi Terapan, LP3ES: Jakarta
Nugaha, A & Murtijo, 2005, “Antropologi Kehutanan”, Wana Aksara, Banten
Peluco, Nancy L,. 1994, “Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java”, London: University of California Press
Scoot, James C, 1992, “Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara”, LP3ES, Jakarta.

Rabu, 07 Oktober 2009

Wakatobi-Sulawesi Tenggara

Kapal laut dengan gagahnya di lautan Wakatobi yang biru menantang
Salah satu tarian tradisional asal Wakatobi "Tari Lariangi"
Beberapa turis luar negeri yang berwisata ke pulau Wakatobi
Nadine Chandra Winata bersama salah satu anak penduduk saat berkunjung di Wakatobi
Wakatobi-Sulawesi Tenggara

Jumat, 02 Oktober 2009

Kenalan dengan -Antropologi-




Definisi/Pengertian Antropologi, Objek, Tujuan, Dan Cabang Ilmu Antropologi


Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.

Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.

Pengertian

Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.

Antropologi memiliki dua sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiannya. Arus utama inilah yang secara tradisional memisahkan antropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada perbandingan/ perbedaan budaya antar manusia. Walaupun begitu sisi ini banyak diperdebatkan dan menjadi kontroversi sehingga metode antropologi sekarang seringkali dilakukan pada pemusatan penelitan pada pendudukyang merupakan masyarakat tunggal.

Definisi Antropologi menurut para ahli

  • William A. Havilan: Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
  • David Hunter:Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
  • Koentjaraningrat: Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.

Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Sejarah


Seperti halnya sosiologi, antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya.

Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:

Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)

Manusia dan kebudayaannya, sebagai bahan kajian Antropologi.

Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.

Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.

[sunting] Fase Kedua (tahun 1800-an)

Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya

Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

Fase Ketiga (awal abad ke-20)

Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.

Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)

Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.

Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.

Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.

Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.


Antropologi adalah suatu studi ilmu yang mempelajari tentang manusia baik dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman, dan lain sebagainya. Antropologi adalah istilah kata bahasa Yunani yang berasal dari kata anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos memiliki arti cerita atau kata.

Objek dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan prilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari manusia dalam bermasyarakat suku bangsa, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri.

Macam-Macam Jenis Cabang Disiplin Ilmu Anak Turunan Antropologi :

A. Antropologi Fisik

1. Paleoantrologi adalah ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti fosil-fosil.
2. Somatologi adalah ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengna mengamati ciri-ciri fisik.

B. Antropologi Budaya

1. Prehistori adalah ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan budaya manusia mengenal tulisan.
2. Etnolinguistik antrologi adalah ilmu yang mempelajari suku-suku bangsa yang ada di dunia / bumi.
3. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
4. Etnopsikologi adalah ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada konsep psikologi.

Di samping itu ada pula cabang ilmu antropologi terapan dan antropologi spesialisasi. Antropology spesialisasi contohnya seperti antropologi politik, antropologi kesehatan, antropologi ekonomi, dan masih banyak lagi yang lainnya.